Horton Hears A Who! (2008)

Sutradara: Jimmy Hayward (Jonah Hex), Steve Martino

Film anak yang sarat dengan pesan, tetapi sebagai film, biasa-biasa saja.

Itulah yang terlintas di pikiran saya seusai menonton Horton Hears A Who, sebuah film animasi yang diadaptasi dari sebuah cerita anak karya Dr. Seuss.

Dikisahkan seekor gajah yang bernama Horton pada suatu hari mendengar teriakan minta tolong dari setitik debu. Horton, si gajah lincah nan baik hati, mengasumsikan bahwa pada debu tersebut terdapat makhluk hidup, yang walaupun hanya berukuran mikroskopis, tetap merupakan seseorang. Atau, seperti yang dia ucapkan berulang-kali sepanjang film: “a person’s a person, no matter how small.

Ternyata di sepucuk debu tersebut memang terdapat makhluk hidup, bahkan sebuah kota! Kota tersebut, Whoville, dipimpin oleh seorang walikota bernama Dodd. Percakapan perdana antara Horton dan Dodd menyadarkan Horton bahwa dia harus memindahkan Whoville ke tempat aman, karena gerakan-gerakan kecil yang dia lakukan berpengaruh besar terhadap kehidupan di Whoville (perubahan cuaca ekstrim, tanah yang menjadi miring, dll). Tempat itu, dia putuskan, adalah puncak Mount Nool.

Reaksi beragam muncul dari hewan-hewan penghuni hutan yang lain. Dari kekaguman anak-anak hingga kecaman dari kangguru penguasa hutan. Sang kangguru menganggap bahwa para Who tidak nyata karena dia tidak bisa melihat, mendengar atau merasakan kehadiran mereka. Tapi Horton keukeuh dengan pendiriannya bahwa sekecil apapun, pasti termasuk orang. Film berlanjut dengan upaya kangguru untuk menggagalkan perjalanan Horton membawa Whoville ke tempat yang aman.

Film ini sebetulnya mendapat rating yang cukup bagus, bahkan Rotten Tomatoes memberi film ini predikat “Certified Fresh”, tapi buat saya film ini kurang memuaskan. Banyak hal yang terasa mengganjal, baik dari segi animasinya yang biasa-biasa saja, perpindahan antaradegan yang kadang-adang kurang mulus, hingga joke-joke-nya yang terasa garing – bisa jadi karena guyonannya memang lebih ditujukan bagi anak-anak.

Karakter-karakternya pun membuat film ini terasa seperti proses membuat mie instan: rebus mie dan bumbu ala kadarnya agar makanan bisa disajikan dengan cepat. Selain para tokoh utama, tokoh-tokoh lain terasa sebagai tempelan dan tidak memiliki karakter. Seringkali tidak ada landasan atas tindakan-tindakan mereka. Misalnya istrinya Dodd, yang awalnya mengira Dodd sakit jiwa karena membayangkan bahwa ada makhluk yang jauh lebih besar daripada mereka, tiba-tiba mempercayai perkataan Dodd, padahal belum ada buktinya. Atau mengapa Vlad si burung bangkai tiba-tiba mau memburu Horton tanpa bayaran apapun, padahal sebelumnya dia hanya mau melakukannya dengan harga yang cukup “tinggi”. Aneh dan membuat saya bertanya-tanya hingga akhir film, selain menambah daftar ganjalan yang dihadirkan film ini.

Kalau bicara secara keseluruhan, yaa okelah, film ini cukup menghibur dan banyak pesan moral yang bisa diambil, seperti seorang pemimpin harus selalu memperhatikan rakyatnya, atau pentingnya memiliki integritas dalam membela rakyat kecil, daaan lain-lain. Cukup banyak analogi bagi kehidupan nyata yang bisa ditemukan di film ini, jika kita memperhatikan dengan cukup baik. Tapi kan film itu bukan selalu tentang pesan yang ingin disampaikan. Jika cerita yang ditawarkan kurang baik, penyampaian pesan pun menjadi agak terhambat. Dan kurangnya perhatian pada detail membuat film ini menjadi biasa-biasa saja. Sayang sekali.